ROH PUISI JILID 2

ROH PUISI JILID 2

Bila aksara yang tergores di kanvas
Membara melahirkan luka meranggas
Dalam hati ada percikan magma terperas
Meledak memburai mendinginkan panas

Penggalan syair ini menandakan jiwa penyair belum berimbang dan memerlukan sesuatu unsur dari luar agar jiwa menjadi seimbang, dan ada tiga unsur yang bisa membuat jiwa penyair menjadi seimbang yaitu (lawan jenis, alam, Tuhan), pada level “cerminan jiwa” biasanya karya puisi seorang penyair berkutat pada hubungan lawan jenis dan serba-serbinya, memang kebutuhan hubungan lawan jenis termasuk hukum alam yang harus dipenuhi dan sifatnya natural pada usia-usia remaja dan dewasa. Maka banyak sekali bertebaran “puisi bertemakan cinta atau pengalaman pribadi” yang sedang dialami oleh penyair saat menuliskan puisi.

Kesimpulan : berimbangnya jiwa penyair yang membutuhkan keseimbangan lawan jenis dan serba-serbinya adalah dirinya sendiri sebagai “tokoh utama dalam puisi yang dituliskan.”

4. indahnya bahasa

Sebelum kita lanjutkan tentang “roh puisi dipengaruhi alam dan Tuhan”, marilah kita berpindah topik terlebih dahulu, yaitu penyair menulis dengan “bahasa indah” yang di dalam essay “roh puisi” ini terletak pada level 4 atau level terakhir, “bahasa indah” disebut juga oleh para penyair dengan sebutan “pakaian puisi”. Mengapa penulis cenderung mendahulukan “pakaian puisi”, sebab “pakaian puisi” sangat penting dipahami bagi seorang penyair sebagai “senjata”.

Dan di dalam level 4 ini juga diterangkan bagaimana memahami jurus seorang penyair pada “level 2 yaitu Seorang penyair mau tidak mau harus mengembangkan kemampuannya agar wacananya sangat luas dan level 3 yaitu penyair kalau sudah terbiasa menulis tanpa disadari penanya pasti sangat tajam”, . . . berhubung level 2 dan 3 termasuk senjata bagi seorang penyair untuk berkomunikasi dengan pembaca, maka penulis menyertakan level 2 dan level 3 tersebut pada level 4.

Marilah kita selidiki secara seksama, apakah menurut pandangan kita setiap penyair yang menulis puisi itu menginginkan jadi penyair handal ? . . . apakah karya puisi yang ada di hadapan kita semuanya dari orang-orang yang memahami puisi secara baik dan benar ?, . . . atau apakah mereka pernah sekolah sastra ?, menurut pengamatan penulis, ternyata sebagian besar yang menuliskan puisi bukan dari orang-orang yang memahami puisi atau sastra, yang penting luapan rasa bisa disalurkan dan seluruh beban jiwa bisa tersalurkan selesai, . . . setelah mengamati persoalan yang begitu komplek, akhirnya penulis memilih skala prioritas, . . . tutorial mana yang perlu didahulukan, dan untuk menyingkat waktu, marilah kita mulai tutorial “roh puisi” dengan menggunakan “bahasa indah,” dan kita tinggalkan dahulu tentang “roh puisi dipengaruhi alam dan Tuhan.” Dan penulis mohon maaf bila kesimpulan penulis di atas salah.

Penulisan karya puisi dengan menggunakan “bahasa indah.” versi penulis bukan bahasa yang gelap atau bahasa yang diksinya begitu metafor atau majas dan turunannya berlebih-lebihan, sehingga dalam membaca puisi, seorang pembaca dibuat bingung dan harus membuka kamus terlebih dahulu agar memahami isi puisi yang dibaca tersebut, . . . bukan . . . bukan itu sahabat-sahabatku, maksud penulis dengan “bahasa indah” adalah seorang penyair harus terampil menggunakan senjatanya yang bernama “bahasa” secara tepat, . . . contoh yang sederhana adalah, sungguh tidak tepat jika ingin membunuh tikus dengan membakar rumah atau memperbaiki radio dengan sebatang linggis, . . . agar tidak terjadi hal seperti itu seorang penyair harus memahami senjata yang berupa “bahasa”, dan penulis mengklasifikasikan senjata tersebut menjadi tiga yaitu “anak panah, busur serta papan bidikan”, agar sahabat-sahabatku mudah untuk mengingat tentang senjata seorang penyair yang bernama “bahasa”.

Mari kita bedah istilah “anak panah, busur serta papan bidikan” dan kita mulai dahulu dengan istilah “anak panah”, “anak panah” adalah ketrampilan seorang penyair dalam menggunakan senjatanya yang bernama “bahasa”, dan “bahasa” versi penulis dibagi menjadi dua kategori yaitu :

A. Bahasa lugas (bahasa mudah dimengerti)
B. Bahasa sastra (bahasa perlu kosentrasi agar mampu memahami arti)

A. Bahasa lugas

Bahasa yang mudah dicerna oleh kalangan masyarakat apa saja, baik dari masyarakat yang berpendidikan rendah sampai yang berpendidikan tinggi, karena bahasa lugas tidak begitu memerlukan perhatian khusus dan artinyapun tidak bercabang, contoh kata “rumput” dalam karya puisi yang memakai bahasa lugas, maka arti dan peran dari kata “rumput” dalam rangkaian larik dan bait artinya tetap sama, yaitu “rumput” seperti yang ada dalam rekaman otak kita atau bisa diartikan lain yaitu “bahasa jujur.”

Inilah salah satu contoh karya puisi berbahasa lugas kiriman dari sesepuh sastra kita “Sugiono Mpp” yang berjudul “Puisi” dan karya puisi tersebut diciptakan oleh senior sastra juga, yang alhamdulillah sampai sekarang beliau tetap di dekat kita, beliau masih aktif menulis pada media online FB dengan menyandang nama “Bambang Kustedjo Soedarjo”, saya berterima kasih sekali pada beliau berdua yang telah membantu terselenggaranya essay yang sangat sederhana ini.

Puisi

Puisi
bukan
untuk dikritik
tetapi
untuk dinikmati
suka telan habis
tidak suka lepehkan
puisi perlu masukkan, ya
jadi
menulislah
jangan pernah
takut
malu
atau ragu
karena puisi
adalah rasa
Bambang Kustedjo Soedarjo
Cikarang 9 Juli 2017

Inilah suatu bentuk puisi yang menggunakan bahasa lugas, mengenai keindahan atau estetika seni, mungkin agak kurang tetapi isi yang dikandung sangat mulia sekali dan pesan dari puisi tersebut bisa langsung tersampaikan dengan mudah kepada siapa saja yang membacanya, entah itu orang sastra, penulis pemula atau orang awam

Perlu digaris bawahi bahwa di dalam menuangkan karya puisi yang memakai bahasa lugas masih membutuhkan kata penghubung seperti yang, dan, bagi . . . dll, dalam ilmu tata bahasa (grammar) ada 16 macam . . . silahkan cek sendiri pada internet, dan kata penghubung tersebut berfungsi untuk memperindah serta mempertegas karya puisi yang dituliskan, akan tetapi jika terlalu banyak, bukan lagi karya puisi tapi prosa, cerpen, essay atau artikel.

B. Bahasa sastra (perlu kosentrasi agar mampu memahami arti)

Bahasa sastra adalah bahasa simbol atau persamaan sifat dari “kata” yang tertulis pada karya puisi, dan “kata” tersebut arti dan maknanya tidak berdiri sendiri seperti penulisan “kata” dalam karya puisi “berbahasa lugas” tetapi penulisan “kata” dalam karya puisi “berbahasa sastra”, “kata” yang dituliskan arti dan maknanya saling berhubungan dengan kata-kata lain yang terdapat dalam larik atau bait karya puisi yang disajikan, contoh kata “pengemis” dari puisi yang dibuat oleh penulis yang terletak di bagian bawah paragraf ini, kata pengemis dari puisi tersebut arti dan perannya bisa kemana-mana tergantung kata-kata lain yang terdapat pada baris dan larik puisi tersebut. Bisa disimpulkan puisi yang menggunakan “bahasa sastra” adalah bahasa para penyair yang “anak panahnya” dibidikkan khusus bagi kaum sastra agar memperhalus hati, rasa dan bahasa. Mari kita amati sebuah karya puisi yang telah ditulis oleh penulis sendiri dan puisi tersebut menggunakan “bahasa sastra” :

Sekarat

Pengemis merapatkan tangan
Bibir pecah mulai terbungkam
Mata lelah mulai dikatupkan
Hati terperas mulai menghitam

Di sebelah nisan badan disandarkan
Berguguran bunga kamboja di halaman
Aroma kemenyan mulai menghilang
Mantra-mantra mulai terendam kembang

Senyum rembulan pelit ditunjukkan
wajah mega bersolek arang
Meriahnya binatang malam hilang teredam
Suasana hening seram menakutkan

Aksara-aksara berlari
Pena tajam mulai patah kaki
Bait-bait puisi menangis sedih
Alunan naskah menutup peti mati

Edy Malang, 120717

Puisi di atas bagi orang sastra, sekali atau dua kali membaca insha Allah langsung paham, apa kandungan puisi serta maksud pengarangnya, akan tetapi bagi “penyair pemula” puisi tersebut bisa dibaca berkali-kali agar mampu memahami kandungan maknanya, dan bagi “orang awam” langsung dipakai bungkus kacang.

Sekali lagi perlu digaris bawahi bahasa sastra jika bisa atau tidak terpaksa sama sekali, lebih indah tidak menggunakan kata penghubung, . . . sebuah naskah puisi yang baik memang seharusnya singkat, padat, tetapi isi dari puisi tersebut sangat luas atau prismatis. Dan dari kedua kategori bahasa tersebut masing–masing mempunyai kelemahan dan kelebihan sendiri-sendiri.

Khusus bagi penulis yang sudah terampil pasti sudah tidak ada permasalahan lagi dalam menggunakan bahasa sastra dan bahasa lugas, dan penulis tak perlu menguraikan dalam essay ini, sebab jika penulis ngotot untuk menguraikan, bisa jadi penulis sendiri nanti yang dibriefing oleh penyair-penyair yang sudah senior, karena setiap penyair yang sudah terampil mempunyai style / gaya serta tujuan yang kita tidak bisa merabah kecuali penyairnya sendiri.

2 . Luasnya wacana

seorang penyair wajib hukumnya mempelajari bahasa baku atau bahasa indonesia yang baik dan benar, dan untuk menambah ketrampilan menulis, silahkan membaca karya puisi rekan-rekan, penyair-penyair nasional sampai internasional, baik timur maupun barat fungsinya untuk merias “pakaian puisi” dan seorang penyair wajib hukumnya mempelajari ilmu primer seperti logika, sejarah, sosiologi, psikologi, biologi, filsafat dll, karena semakin anda banyak menguasai “ilmu pertama” maka “roh puisi” anda semakin berbobot, jika sudah membaca berbagai macam disiplin ilmu selanjutnya silahkan berpaling pada kitab sucinya masing-masing sebab orang-orang besar biasanya akrab sekali dengan kitab sucinya masing-masing

3 . Tajamnya rasa

Menulis itu mudah, tapi juga bisa berubah menjadi susah jika tidak memahami jurusnya, seperti saat kita berkomunikasi secara langsung “face to face”, jika tidak memahami jurus berkomunikasi mungkin apa yang kita maksudkan simbol “a” setelah terjadi komunikasi bisa berubah menjadi simbol “b” karena dipengaruhi nada suara atau emosi yang terkadang kita tidak menyadari kapan datangnya emosi tersebut. Penulis tidak memperpanjang uraian tentang ilmu komunikasi mungkin dengan sedikit contoh yang diambil dari ilmu logika insha Allah sahabat-sahabatku bisa memahami secara baik dan benar.

Inilah satu contoh senjata yang diajarkan oleh ilmu logika, jika berdiskusi wajib hukumnya menggunakan kata univokal “arti dan bentuknya sama” dan jangan sekali-kali dalam berdiskusi menggunakan kata ekuivokal “ sama bentuk lain arti dst” . . . silahkan dibuka ilmu logika, begitupun mencipta sebuah karya puisi, kita juga harus memahami jurusnya agar komunikasi antara penyair dan pembaca tidak salah maksud dalam membaca dan menterjemahkan karya seorang penyair dan jurus itu diklasifikasikan menjadi 6 nada atau tema, dan “nada atau tema” dalam essay ini diganti oleh penulis menjadi “busur panah” untuk mempermudah ingatan

Dan 6 nada tersebut sebenarnya tidak hanya berlaku untuk menciptakan sebuah karya puisi saja, tetapi berlaku untuk menciptakan semua karya tulis, karena 6 nada tersebut saya ambil dari penelitian orang-orang yang kompeten dalam hal tulis menulis yang bernama Adelstein dan Pival. Dan referensi tersebut saya ambil dari sebuah buku yang berjudul “menulis sebagai suatu ketrampilan berbahasa” yang dikarang oleh Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan.

A. Nada akrab
B. Nada informatif
C. Nada persuasif
D. Nada argumentatif
E. Nada mengkritik
F. Nada otoritatif

Maaf saya hanya memperkenalkan saja dan tidak menjelaskan secara detail fungsi ke 6 nada tersebut, karena tulisan ini berbentuk essay yang singkat dan padat, dan ke 6 nada tersebut fungsinya tidak kaku tetapi bisa lentur dan rangkap penggunaaanya seperti nada informatif digabung dengan nada akrab, dan mengenai 6 nada ini seorang penyair tanpa tutorial akan bisa dengan sendirinya dengan kebiasaan menuliskan karya-karyanya.

Bersambung roh puisi jilid 3
Isinya : Seorang penyair yang dipengaruhi alam dan Tuhan
Terimah kasih

Dan ada tutorial lain yang tidak kalah penting dalam pembuatan puisi yang berjudul “fungsi pengendapan karya puisi”

Penulis

Edy witanto