ROH PUISI JILID 4

Roh Puisi Jilid 4

Puisi mendekati sempurna

Meskipun seorang penyair mampu menuliskan puisi berbagai macam seperti pusai, balada, pamflet, haiku dll, tapi kepuasan rasa dari seorang penyair akan menggiring penanya menuju karakter yang bisa memuaskan rasa penyair itu sendiri, oleh sebab itu seorang penyair pada titik akhir perjalanan penanya akan kembali pada karakternya masing-masing, yang romantis kembali ke romantis, yang penggebrak kembali pada penggebrak, yang ingin terkenal dan tolok ukurnya materi juga akan kembali pada buku takdirnya, dan pembaca akhirnya mampu membaca ciri khas dari pena serta tulisan penyair tersebut.

Seorang penyair meskipun sudah membaca semua arahan penulis pada seluruh tutorial yang telah diuraikan pajang lebar, tetapi jika penyair jarang menulis puisi, bisa dianalogikan seperti keledai berjalan antar lembah dengan memikul ribuan buku, sebab menulis adalah sesuatu kebiasaan yang harus dilatih setiap saat, sampai tangan seorang penyair saat menulis seperti batang kaki melangkah, bukankah kala kita berjalan sudah tak memikirkan bagaimana kaki kita bergerak?, mengenai benar dan salah, bermutu dan tidak bermutu, tak perlu dipikirkan secara serius, dengan seringnya kita menulis dan menambah ilmu sambil berjalan, bisa dipastikan kita mampu menilai tulisan yang telah kita tuliskan satu bulan atau satu tahun yang lalu, bukankah ada pepatah “ala bisa karena biasa” atau istilah lain lebih baik kita diberi oleh-Nya rahmat berupa “istiqamah daripada kharomah”, sesungguhnya sesuatu yang sulit dan berat bila sudah terbiasa akan terasa mudah dan ringan.

Satu lagi yang perlu digaris bawahi, kala seorang penyair memegang pena dan menuliskan aksara terkadang mirip air sungai yang mengalir dan logika lenyap terbawa aliran ide yang dituliskan, begitu asyiknya penyair menulis ternyata di tengah jalan pena menyimpang dari ide awal, seharusnya aliran ide tersebut mengarah ke utara . . . terkadang mengalir sendiri ke arah selatan, mungkin saudara-saudaraku sering mengalami?, dan hasil akhir dari tulisan penyair tidak sama dengan ide awal, di sinilah fungsi logika berjalan yaitu untuk meluruskan pena yang mulai menyimpang dari ide awal . . . dan mengarahkan kembali pada relnya agar pena tersebut tidak semakin menyimpang.

Selama berkumpul dengan rekan-rekan penyair, penulis sering melihat seorang penyair mempunyai kebiasaan yang kurang bagus, dan penulis menamakan “penyakit” dari seorang penyair, apakah itu ? . . . kala seorang penyair selesai menuliskan karyanya . . . dan setelah diamati, ditimbang-timbang agak lama, karya tersebut dibuang begitu saja, karena hati mengatakan karya tersebut kurang berbobot. Ingat seorang penyair bukan seorang Nabi, jika penyair memperoleh ilham yang bobotnya naik turun itu hal biasa, berbeda sekali dengan wahyu yang diturunkan pada Nabi-Nabi, wahyu yang diturunkan pada Nabi-Nabi pasti bobotnya 100% terus menerus. Untuk itu saran penulis “disimpan saja tulisan yang menurut hati tidak berbobot”, mungkin lain waktu bisa diperbaiki, entah itu pakaian atau isinya, . . . bisa juga penyair upload pada media gratis tanpa direcoki pena kurator, . . . mungkin karya yang menurut hati tidak berbobot, tetapi menurut pandangan umum adalah sesuatu yang istimewa, sebab ukuran pakaian yang dikenakkan penyair jelas berbeda dengan ukuran pakaian penikmat puisi yang beraneka ragam.

Oke . . . mari kita memasuki tutorial “puisi mendekati sempurna”, istilah “puisi mendekati sempurna” adalah sudut pandang dari penulis sendiri, jika sudut pandang tersebut berseberangan dengan para penyair senior, kritikus sastra atau pembina sastra yang telah bergelut dengan hal ikhwal puisi di arena akademis itu sah-sah saja sebab setiap hati dan fikir menemukan permatanya sendiri-sendiri dengan rujukan atau referensi sendiri-sendiri pula.

Penulis sedikit banyak telah membaca karya penyair level nasional maupun internasional dan telah menyelidiki cukup lama karya-karya mereka dan sayangnya penulis tidak menjatuhkan rujukan pada gaya dan tulisan mereka yang sebagian besar cenderung mengarah pada “puisi bebas”, tetapi penulis cenderung mengambil rujukan dari kitab suci Al Qur’an, dengan alasan . . . hanya kitab suci Al qur’an yang mampu menundukkan puisi bergaya syair yang digeluti oleh sastrawan jazirah arab zaman dahulu, penulis manjatuhkan rujukan pada kitab suci Al Qur’an bukan tanpa sebab, tetapi mempunyai alasan yang bisa dipertanggung jawabkan secara disiplin ilmu.

sebelum Al qur’an turun ke dunia, bahasa di jazirah arab telah mencapai kesempurnaan tata bahasa sebagai bahasa budaya “silahkan pelajari tajwid, nahwu dan shorof” saudara-saudaraku akan mengetahui keindahan tata bahasa mereka, dan di daerah jazirah arab lomba puisi secara lisan maupun tulis adalah tradisi puncak sastra dari seluruh jazirah arab yang berpusat di kota mekkah dan setiap karya puisi yang keluar sebagai pemenang, karyanya digantung pada ka’bah dengan rasa bangga.

Tetapi ketika kalam Illahi turun ke dunia, semua lomba syair yang dibangga-banggakan oleh seluruh penyair dari jazirah arab serta-merta menemui ajalnya, para penyair tak mampu menandingi maha karya, baik isi, makna, irama, gaya yang begitu mempesona. Penyair berusaha segala daya untuk mengguguli atau setidaknya menyamai kedasyatan kitab suci Al Qur’an, namun hasil karya penyair tetap tak bermakna ketika disandingkan dengan kesempurnaan bahasa, keagungan makna, keabadian pesan, nada irama ritme surga yang terkandung dalam kalam suci yang mulia, maka para penyair perlahan-lahan mundur dengan hormat, dan sejak saat itu sampai hari ini dan sampai akhir zaman puncak maha karya sastra telah hadir dengan gagahnya di tengah-tengah mereka dan dunia, maha karya sastra dengan ribuan kata-kata magis bersastra rasa nirvana yang dikirimkan langsung oleh Illahi Robbi dalam bentuk kalam bersastra, namun bukan kalam sastra biasa yang manusia reka, maha karya sastra kalam Illahi adalah kata-kata kebenaran absolut yang mengajarkan kebenaran hidup kepada manusia agar selamat dari dunia sampai akhirat, dengan makna yang begitu lengkap dan abadi, tak lekang oleh ruang dan waktu.

Al Qur’an adalah firman maha karya sastra berasal dari Allah yang ditujukan pada seluruh umat manusia dan maha karya tersebut dikirimkan secara langsung pada Nabi melalui perantaraan Malaikat yang diberi nama wahyu, dan wahyu pada kitab suci Al Qur’an dibagi menjadi tiga macam bahasa:

1. Ayat Muhkamat yakni ayat dengan makna jelas dan langsung “bahasa lugas”.

2. Ayat Mutasyabihat yakni dengan makna samar, ambigu atau memiliki makna lain, yang membutuhkan penafsiran menggunakan ayat lain atau hadits penjelas “bahasa sastra”

3. yang terakhir Alif Lam Miim termasuk huruf muqottho’ah. Huruf Muqottho’ah bermakna bahwa setiap hurufnya dibaca satu-satu.

Uniknya wahyu yang tertulis pada kitab suci ini meskipun bobot idenya 100% tetapi mampu menyesuaikan kepada setiap pembaca dari seluruh lapisan masyarakat, jika yang membaca firman mempunyai pengetauan 10% maka firman yang tertulis akan memberi pengertian kepada pembaca tersebut 10%, begitupun . . . jika yang membaca firman mempunyai ilmu 90% maka firman tersebut mampu memberi pengetahuan 90% juga, berbeda dengan ilham yang diterima oleh sang penyair, yang musykil bila bobotnya mencapai 100% dan sifatnya naik turun lagi.

Setelah menelaah kedasyatan wahyu dan ide yang diterima oleh penyair, maka penulis mempunyai kesimpulan yaitu sehebat apapun karya dari sang penyair tidak akan mungkin mampu menyamai kedasyatan wahyu baik pakaian maupun roh dari kitab suci Al Qur’an dan karya penyair tidak akan mungkin mampu merangkul pembaca seperti wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad S.A.W..

Al Qur’an yang dikirimkan Illahi kepada seluruh manusia yang berjumlah 30 juz dibagi menjadi 2 bagian yaitu berupa surat dan ayat, dan pada tutorial ini, penulis mengambil contoh Surat Al Baqarah ayat 2-7 sebagai contoh “pakaian” yang dipakai oleh kitab suci Al Qur’an khusus yang berhubungan dengan sastra saja dan penulis mohon maaf jika tidak menerangkan tentang makna dari 6 ayat tersebut secara lengkap sebab jika diterangkan semua makna (roh)nya, tutorial ini bukan membahas sastra tetapi membahas agama, . . . agar sesuai dengan tema maka penulis hanya mengupas makna (roh) dari surat Al Baqarah ayat 2 saja, dan dengan surat Al Baqarah ayat 2 insha Allah saudara-saudaraku bisa mengetahui sampai dimana letak kedasyatannya makna (roh) firman tersebut?.

Jika dilihat sekilas pakaian dari ayat-ayat Al Qur’an ini hampir mirip syair yaitu nada, irama dan rimanya, tetapi tidak dibagi perbait mirip syair yang berisi empat larik, bait-baitnya bebas, bila ditelaah lebih jauh lagi ayat yang tertulis bisa dibuat lagu atau istilah lain tilawah, dan untuk pakaian yang dipakai kitab Al Qur’an bisa dilihat secara langsung oleh saudara-saudaraku yang mampu berbahasa arab atau belum mampu berbahasa arab, sebab dengan memperhatikan 6 ayat bisa dilihat rimanya secara langsung.

ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ ھُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ
żālikal-kitābu lā raiba fīh, hudal lil-muttaqīn

الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۙ
allażīna yu`minụna bil-gaibi wa yuqīmụnaṣ-ṣalāta wa mimmā razaqnāhum yunfiqụn

وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
wallażīna yu`minụna bimā unzila ilaika wa mā unzila ming qablik, wa bil-ākhirati hum yụqinụn

أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
ulā`ika ‘alā hudam mir rabbihim wa ulā`ika humul-mufliḥụn

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
innallażīna kafarụ sawā`un ‘alaihim a anżartahum am lam tunżir-hum lā yu`minụn

خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
khatamallāhu ‘alā qulụbihim wa ‘alā sam’ihim, wa ‘alā abṣārihim gisyāwatuw wa lahum ‘ażābun ‘aẓīm

setelah mengamati pakaian dari wahyu, mari kita buktikan kedasyatan makna (roh) dari kitab suci tersebut, andai seluruh manusia di bumi ini bersekutu dengan seluruh jin dan mereka saling bantu membantu untuk membuat atau menandingi satu surat saja mirip firman yang diturunkan pasti tidak mampu, oke mari kita amati satu ayat dari surat Al Baqarah ayat 2 yang berbunyi:

ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ ھُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ
żālikal-kitābu lā raiba fīh, hudal lil-muttaqīn
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,

Surat Al Baqarah ayat 2 oleh Penulis dipotong menjadi dua bagian, sebab separuh ayat tersebut mewakili berbagai macam disipllin ilmu secara lengkap berupa “data” dan separuhnya lagi mengupas praktek dari data atau “fakta”.

ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ
żālikal-kitābu lā raiba fīh
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; “data”

Dan satu lagi :

ھُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ
hudal lil-muttaqīn
petunjuk bagi mereka yang bertakwa; “fakta”

A . Mari kita kupas dahulu separuh ayat dari surat Al Baqarah ayat 2 :

ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ
żālikal-kitābu lā raiba fīh
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; ; “data”

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya,” kalimat ini kalau kita telisik dari tiga macam bahasa yang dipakai pada kitab tersebut bisa dikategorikan Ayat Muhkamat yakni ayat dengan makna jelas dan langsung “bahasa lugas” tetapi jika di urai, ternyata maknanya (roh) sangat prismatis, dan fersi penulis ada tiga macam makna dari ayat tersebut :

1. Kalimat berita
2. Kalimat tantangan
3. Kalimat putusan

1 . Kalimat berita

kalimat berbentuk berita biasanya seorang pembaca menyikapi bacaan dengan sambil lalu, dan isi dari berita biasanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, seperti saat kita membaca koran, biasanya pembaca cepat sekali melupakan berita yang telah dibaca, mungkin alam pikiran pembaca mengatakan isi berita tidak penting untuk diingat-ingat terlalu lama. Jika ayat “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya,” diterjemahkan sebagai kalimat berita, maka makna ayat jadi dangkal dan tidak ada kelebihannya sama sekali, artinya “bahasa lugas” diterjemahkan apa adanya sebagai “bahasa lugas”

2 . Kalimat tantangan

jika saat membaca ayat “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya,” diterjemahkan oleh pembaca sebagai kalimat tantangan berbeda lagi maknanya, di alam pikiran pembaca ayat ini akan timbul berbagai macam pertanyaan, benarkah tidak ada keraguan isinya?, bisakah dibuktikan?, bagaimana kalau saya bandingkan dengan ilmu seluruh dunia?, apakah kitab ini mampu mempertahankan argumennya?, dan setelah saya bandingkan dengan ilmu seluruh dunia ternyata ada kelemahan, berarti bohong, . . . oke saya pelajari dahulu secara keseluruhan isinya, setelah itu akan saya datangkan pakar-pakar ilmu untuk membuktikan argumennya.

Kesimpulan, dengan ayat yang sama sebuah kitab mampu menggerakkan pembaca untuk mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, agar pembaca mampu melayani tantangan yang dilontarkan oleh surat Al Baqarah ayat 2 menuju kesimpulan “benar atau salah”. Ayat tersebut mempergunakan “bahasa lugas” diterjemahkan sebagai “bahasa sastra”
.
3 . Kalimat putusan

Kalimat putusan, berarti pembaca sudah mengakui kebenaran dari ayat yang disampaikan, entah dengan cara apa pembaca memperoleh kesimpulan, yang tahu pasti adalah pembaca itu sendiri, mungkin dengan mempelajari, membandingkan dengan ilmu-ilmu lain?, dan dengan cara apa pembaca membuktikan tantangan argumennya?, single fighter atau meminta bantuan pakar-pakar disiplin ilmu dari seluruh dunia?, penulispun tak tahu, atau seluruh kitab sudah diuji isinya sesuai dengan berbagai disiplin ilmu, dan yang pasti sampai esai ini dituliskan belum ada yang mampu mencari kelemahannya. Ayat yang mempergunakan “bahasa lugas” diterjemahkan sebagai “bahasa sastra”.

Setelah menelaah setengah dari surat Al Baqarah ayat 2 dengan menggunakan “bahasa lugas” ternyata maknanya (roh) sangat prismatis bahkan mencakup ilmu atau “data” seluruh dunia, . . . ada keunikan dari kitab suci ini yaitu dengan menggunakan metode tantangan . . . (tanpa disadari manusia yang memegang kitab suci menjadi pandai he he he . . . pembaca yang penasaran terbawa arus dan tanpa sadar memperlajari berbagai macam ilmu disamping mempelajari kitab suci tersebut) , . . . bagaimana menurut saudara-saudaraku tentang makna separuh ayat yang dikupas penulis?, itulah dasyatnya wahyu dan sangat berbeda sekali dengan syair buatan pujangga

B . Separuh ayat dari surat Al Baqarah ayat 2 yang lain :

ھُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ
hudal lil-muttaqīn
petunjuk bagi mereka yang bertakwa,; “fakta”

Sebelum mengupas makna “petunjuk bagi mereka yang bertakwa” kita awali dahulu dengan himbauan dan ancaman dari Allah tentang hubungan “data dan fakta” yang bertingkat-tingkat sesuai kedekatan hamba-Nya kepada yang menurunkan wahyu. Baiklah kita mulai dahulu dengan :

S. Al Baqarah ayat 44. Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?.

Surat As-Saff Ayat 3. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

Surat Al Haqqah ayat 44-49 . Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya. Maka tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya). Dan sungguh, (Al-Qur’an) itu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.

Bukankah puisi yang memakai “bahasa sastra” kata yang tertera pada puisi tak bisa ditelaah langsung, tetapi harus dilihat dahulu kata-kata lain yang terdapat pada larik dan bait untuk memahami makna kata yang tertulis, begitu juga dengan separuh dari surat Al Baqarah ayat 2 yang berupa “fakta”, meskipun terlihat seperti “bahasa lugas” sesungguhnya ayat ini “bahasa sastra” yaitu bermakna prismatis , dan “bahasa sastra” tidak akan mampu kita pahami tanpa bantuan ayat pendukung, dan separuh dari surat Al Baqarah ayat 2 setelah dibantu 3 ayat pendukung terkuaklah rohnya, bahwa suatu “data” belum bisa dinamakan suatu ilmu, tetapi masih berupa referensi “data” yang sifatnya bebas, jika kita ikuti dan mempraktekkan maka referensi “data” tersebut menjadi suatu ilmu dalam tanda petik bagi kita sendiri, begitu juga isi kitab suci Al Qur’an, meskipun kita sudah mengakui kebenarannya, tetapi jika belum mempraktekkan referensi atau “data” tersebut maka belum bisa dikatakan suatu petunjuk, tetapi jika kita sudah mempraktekkan maka isi kitab bisa dikatakan menjadi petunjuk bagi / menuju takwa , itulah makna (roh) separuh dari surat Al baqara ayat 2 yang berupa “fakta”.

Setelaah menelaah surat Al Baqarah ayat 2- 7 sebagai pakaian dari mengupas makna (roh) surat Al Baqarah ayat 2 yang isinya begitu dasyat, penulis memperoleh kesimpulan bahwa puisi yang mendekati sempurna adalah

1. Menggunakan bahasa baik dan benar dimana puisi itu dibuat
2. Singkat padat “bahasa lugas” dengan makna “prismatis”
3. Menggunakan rima dan irama
4. Kata yang dipakai bahasa universal (ilmu logika)
5. Pesan dari puisi runut / mudah dicerna / berupa ilmu
6. Pesan dari larik / bait / karya puisi saling mengikat
7. Pesan dari puisi usianya abadi
8. Dibaca siapa saja mampu beradaptasi dengan kadar ilmu pembaca

Jika menelaah kembali ayat-ayat di dalam kitab suci Al Qur’an, bahwa penyair tidak mungkin mampu mencipta meski bersekutu dengan seluruh manusia dan jin yang ada di dunia walau satu surat saja, yang serupa pakaian dan isi dari kitab suci Al Qur’an, tetapi penulis tetap tidak berputus asa sebab kebiasaan pendekar bela diri dari negeri tirai bambu jika tidak mampu mengalahkan lawan tandingnya, pendekar tesebut akan berguru kepada lawan tanding yang tidak bisa dikalahkan itu untuk menambah ilmu, dengan menggunakan jurus yang sama ala pendekar bela diri dari negeri tirai bambu, ternyata penulis menemukan jalan yaitu ayat-ayat yang tertera pada kitab suci Al Qur’an jika dipandang sekilas nampak paradox tetapi setelah diteliti ternyata saling dukung mendukung.

Dalam hadist ada tuntunan zakat atau mengeluarkan harta bagi umat muslim untuk menjalankan kewajiban yang dibebankan oleh agama yang diyakini, maaf penulis tidak membedah ilmu zakat secara spesifik tetapi yang umum saja, yang menurut penulis ada hubungannya dengan tutorial yang kita perbincangkan saat ini, dan dalam ajaran islam ternyata manusia bertaqarub dengan Tuhannya mempunyai tingkatan, orang umum dibebani 2,5 % dari penghasilan, sedangkan ulama dibebani 20 % “versi Al Qur’an” sedangkan sahabat diperbolehkan 1/3 dari harta yang akan disumbangkan dan di atas 1/3 tidak diperbolehkan oleh Nabi, dengan rujukan ilmu zakat penulis memperoleh suatu kesimpulan bahwa manusia bertaqarub dengan Tuhannya ternyata bertingkat-tingkat dan tingkatan tertinggi adalah sahabat yaitu 1/3. begitupun yang berhubungan dengan seorang penyair yang dibimbing oleh Al Qur’an, puncak tertinggi karya sastranya maximum 1/3 dari kedasyatan kitab suci Al Qur’an dalam tanda petik Jika mampu, sedang 20% saja sudah sangat bagus dibanding sastrawan-sastrawan kelas dunia.

Maksud dan tujuan penulis dalam tutorial ini adalah seorang penyair dalam menuliskan sebuah karya puisi sebaiknya mempunyai rujukan yang jelas untuk memperbaiki karirnya, jika tidak punya rujukan maka penyair akan berjalan ditempat, karena pena penyair bingung mencari cahaya atau guru yang paling mumpuni, bukankah ada pepatah jika ingin kaya harus bergaul dengan orang kaya, begitupun membuat karya puisi, kwalitas puncak karya seorang penyair ditentukan oleh gurunya, jika memilih guru yang ilmunya sedang pasti puncak karya seorang penyair juga sedang atau dibawah sedang, jika memilih guru yang berkwalitas maka puncak karya penyair berkwalitas atau dibawah kwalitas apalagi mempunyai rujukan seorang guru yang telah jelas ilmunya dan telah di uji bobot dan kwalitasnya maka karya penyair pasti akan berbobot dan berkwalitas atau setidak-tidaknya di bawah gurunya dan dari sekian banyak guru sastra tidak ada guru yang berkwalitas, sehebat dan sekokoh dan teruji selain kitab suci Al Qur’anul karim.

Oke penulis sertakan karya penulis mungkin bisa ditelaah sampai dimana bobot dan kwalitasnya sebab terasa janggal jika penulis membahas “puisi yang mendekati sempurna” tanpa memberikan bukti nyata.

Aksara Berwarna Biru

ketika kau tinggakan gadismu
dua tubuh boleh saling menjauh
ada aksara tertinggal berwarna biru
tak bisa dihapus sampai dunia runtuh

kertas putih tak sama dengan biru
saat pena lain menulis, warnanya berubah jauh
lumpang dan alu gagap satukan sauh
seluruh teori tak berlaku, tujuanpun semakin jauh

bunga cantik mempesona beraroma sejarah
frekuensi tarik menarik centang perenang tak berarah
rindu dendam hanya rayuan sebatas lidah
dua jari tak bisa merekat, aksaramu sebagai penyangga

ketika kau tinggalkan gadismu
ada sayatan luka berwarna biru
membekas pada hati dan kening penggantimu
bait-bait puisi syahdu bak pisau menusuk empedu

edy malang, 080419

Puisi ini saya ambil dari hadist Rasulullah :
“Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Mu’adz telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muharib bin Ditsar dari Jabir bin Abdullah dia berkata : Saya menikah dengan seorang wanita, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku: Apakah engkau telah menikah? Saya menjawab; Ya. Beliau kembali bertanya: Dengan gadis ataukah janda? Saya jawab; Dengan janda. Beliau lalu bersabda: Kenapa kamu tidak memilih gadis hingga kamu dapat bercumbu dengannya? Syu’bah berkata; Kemudian saya mengemukakannya kepada ‘Amru bin Dinar lantas dia berkata; Saya telah mendengarnya dari Jabir? Hanyasannya dia menyebutkan; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Kenapa tidak dengan anak gadis hingga kamu bisa mencumbunya dan dia mencumbumu?” (HR Muslim)

Penulis akhiri tutorial roh puisi sampai di sini jika ada kekurangan penulisan maupun kata-kata yang kurang berkenan, sebagai manusia biasa penulis mohon maaf karena kebenaran milik Allah dan manusia tempatnya salah dan lupa terima kasih

Salam dari penulis

edy witanto 090419